
Jakarta – Sejumlah sarjana dari berbagai disiplin ilmu melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait aturan batas usia dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Mereka menilai ketentuan ini tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan menghambat kesempatan bagi banyak lulusan perguruan tinggi yang ingin mengabdi sebagai aparatur sipil negara.
Gugatan ini diajukan setelah banyak calon peserta merasa dirugikan akibat batasan usia maksimal yang ditetapkan dalam berbagai formasi CPNS. Saat ini, aturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS menetapkan usia maksimal 35 tahun bagi pelamar CPNS, dengan pengecualian untuk profesi tertentu seperti dosen, dokter, dan peneliti yang bisa mendaftar hingga usia 40 tahun.
Menurut perwakilan penggugat, aturan tersebut dianggap tidak relevan dengan kondisi sosial dan ekonomi saat ini. Banyak lulusan perguruan tinggi baru mendapatkan kesempatan kerja stabil setelah berusia di atas 30 tahun, terutama mereka yang berasal dari daerah dengan keterbatasan akses pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Argumen Penggugat: Batasan Usia Tidak Adil dan Diskriminatif
Salah satu penggugat, Rahmad Hidayat, seorang sarjana hukum yang kini berusia 36 tahun, mengaku kecewa karena impiannya menjadi pegawai negeri pupus akibat aturan tersebut.
“Saya baru menyelesaikan studi S2 di usia 34 tahun, dan saat siap mengikuti tes CPNS, saya malah terhalang aturan usia maksimal. Ini tidak adil bagi kami yang baru mendapatkan kesempatan menyelesaikan pendidikan lebih tinggi di usia yang lebih matang,” ujarnya.
Tim kuasa hukum penggugat menyatakan bahwa ketentuan batas usia ini bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
“Negara seharusnya memberikan kesempatan yang lebih luas kepada semua warga negara yang memiliki kapasitas dan kompetensi, bukan membatasi berdasarkan usia. Apalagi, banyak negara lain yang tidak menerapkan aturan usia ketat dalam perekrutan pegawai pemerintah,” ujar kuasa hukum penggugat, Arief Setiadi.
Pandangan Pemerintah dan Tantangan Regulasi
Di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa batas usia dalam seleksi CPNS ditetapkan berdasarkan kebutuhan organisasi dan efisiensi kerja. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Agus Supriyanto, menegaskan bahwa aturan ini bertujuan untuk menciptakan regenerasi dalam birokrasi yang lebih dinamis dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
“Rekrutmen CPNS didesain untuk menciptakan aparatur sipil negara yang kompetitif dan mampu bekerja dalam jangka waktu panjang. Jika usia perekrutan terlalu tinggi, maka masa pengabdian yang efektif menjadi lebih singkat,” ujar Agus.
Namun, akademisi dan pakar kebijakan publik menilai bahwa pemerintah seharusnya lebih fleksibel dalam menetapkan regulasi, terutama mengingat perkembangan kondisi ekonomi dan demografi Indonesia.
Menurut Dr. Siti Lestari, pakar administrasi publik dari Universitas Indonesia, kebijakan batas usia perlu dikaji ulang agar lebih inklusif dan tidak merugikan kelompok tertentu.
“Usia bukan satu-satunya indikator produktivitas seseorang. Pemerintah harus mempertimbangkan aspek lain seperti pengalaman kerja dan kompetensi. Jika batas usia diperlonggar, maka lebih banyak talenta potensial yang bisa berkontribusi dalam birokrasi,” jelasnya.
Langkah Selanjutnya: Menunggu Putusan MK
Gugatan ini kini tengah diproses di Mahkamah Konstitusi. Jika MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan para penggugat, maka pemerintah harus merevisi regulasi terkait batas usia CPNS.
Namun, jika gugatan ini ditolak, maka aturan yang ada tetap berlaku, dan para sarjana yang melewati batas usia tidak memiliki pilihan lain selain mencari jalur karier lain di luar aparatur sipil negara.
Masyarakat kini menanti keputusan MK, yang tidak hanya akan berdampak pada proses seleksi CPNS ke depan, tetapi juga pada kebijakan kepegawaian secara keseluruhan.